Mak Fat adalah kakak pertama ibu saya. Mulanya dia diadopsi oleh saudara kakek. Ia sering berkunjung ke rumah kakek (rumahnya sendiri), dan bermain dengan adik-adiknya (yang dikiranya sepupu). Setelah agak besar, ia diberitahu kenyataan. Konon, suasananya sangat haru. Mak Fat sampai jatuh pingsan.
Tapi tidak ada yang sungguh-sungguh berubah. Mak Fat tetap Mak Fat yang sangat mengayom adik-adiknya. Ia kakak tertua, tapi bertubuh paling pendek karena terlalu sering menggendong. Ia sangat tidak jelita dibandingkan dengan saudari-saudarinya. Ada fotonya: bila adik Mak Fat berjalan-jalan di tepi pantai dengan seorang belahan hati, Mak Fat akan mengikuti dari belakang, sebagai pengawal. Sebab bila terjadi apa-apa pada adiknya, Mak Fat yang akan dicambuk menggunakan ekor pari.
Mengawal kencan? Menurut saya, Mak Fat lebih tampak seperti obat nyamuk. Mak Fat tidak punya potongan βsaudara yang mengawalβ. Dari jauh, bila orang tidak mengenal keluarga kami, Mak Fat akan dikira pembantu. Betapa dia sangat berbeda dari saudari-saudarinya.
Tapi hanya kubur Mak Fat yang selalu saya kunjungi sendirian. Mungkin hampir tiap bulan, bila saya ada di Kota Mataram. Hanya kubur Mak Fat yang bisa membuat saya menangis tersedak-sedak.
Kubur itu di Desa Sandik, terpisah jauh dari kubur orangtua dan adik bungsunya. Kubur itu biasa dalam bentuk. Seperti Mak Fat dulu. Sendirian. Sederhana.
Kesepian.
***
Saya banyak menghabiskan masa kecil sayaβbahkan hingga remajaβdi rumah Mak Fat. Itu rumah kontrakan Mak Fat dan suaminya, seorang satpam hotel yang gagah. Kalau mereka berdiri bersebelahan, kontras. Mak Fat sering membawa saya menginap di sana. Ingatan saya samar, tapi beberapa membekas kuat, misal, saya pernah temukan Mak Fat tergugu di kamar.
Mak Fat dan suaminya tidak memiliki anak. Mak Fat, karena segala keterbatasan fisiknya itu, tidak bisa memberikan keturunan. Mereka kemudian mengadopsi seorang anak laki-laki, dan pindah ke daerah Sandik, setelah membangun rumah dua lantai di sana. Sampai sekolah Aliyah, saya masih sering bermain ke rumah beliau. Mak Fat akan menyayangi saya sepenuhnya. Memasakkan saya mie. Menyuruh saya tidur. Mengajak saya ngobrol. Memberi saya uangβmeski sering saya kembalikan diam-diam, sebab saya tahu Mak Fat lebih butuh.
Mak Fat dan suaminya sudah lama punya hubungan yang dingin. Tidak sekali dua, secara terang-terangan, dan dengan nada yang biasa saja, Mak Fat bercerita bahwa ia sedang mengabaikan dua atau tiga pesan romantis di ponsel suaminya, dari wanita lain. βBiarkan saja, karena di rumah ini dia ndak dapat kesenangan batin.β
Dada saya sakit sekali disayat kalimat sederhana Mak Fat. Sudah berapa lama dia memendam kesepian?
Sekian tahun saya melihat Mak Fat, pelipisnya sering ditempeli koyo. Rambutnya berombak kusut. Matanya memicing menahan sakit. Saya bodoh sekali mengira semua itu sekadar masuk angin. Mak Fat merahasiakan satu penyakit dari saudari-saudarinya (termasuk ibu saya). Mak Fat tidak ingin membaginya karena takut akan membebani. Mak Fat hanya meminta uang dari suaminya, yang sudah seperti bukan suami, sebagai kompensasi karena ia masihlah seorang istri dan ia tidak menuntut suaminya karena serong. Mak Fat pergi ke dokter sendiri, masak sendiri, makan dan minum obat sendiri. Tidak mengeluh.
βMak Fat ndak ngelarang pamanmu pacaran. Cuma satu Mak Fat minta, jangan nikah pas Mak Fat masih hidup. Jangan bikin keluarga malu dan marah.β
Waktu itu, saya pernah memaksanya bercerita tentang kelakukan suaminya. Saya memaksa karena sayalah satu-satunya anggota keluarga yang paling intens melihat keadaan Mak Fat dari dekat. Terurailah semua cerita. Mak Fat berkata seperti tadi. Ia juga berpesan agar saya merahasiakannya. Sebab, menurutnya, ia akan segera mati. Waktu itu saya tidak tahu apa maksudnya. Saya hanya memeluk Mak Fat erat-erat. Simbah air mata.
Di semester pertama saya kuliah di Malang, berita sedih datang. Mak Fat harus menjalani sekian operasi berbahaya. Saya sangat takut waktu Mak Fat dibawa saudari-saudarinya ke Sanglah, Bali (suaminya tidak ikut, entah sedang di mana). Meski sempat sehat, tapi kemudian Mamak menelepon saya. Mak Fat sudah tiada. Hari itu saya menangis tanpa suara. Saya ingat, saya menggigil hebat di kasur. Hari itu saya merasakan betul sepi hati. Terlalu sepi. Terlalu sakit.
***
Saya sensitif perihal rumah.
Rumah adalah tempat seseorang mengharapkan dan diharapkan. Bila salah satunya timpang, ia akan menjadi sekadar tempat tinggal. Rumah adalah kesalingan. Banyak orang, sejujurnya, yang tidak memiliki rumah. Rumah yang padanya ada βpenguasa yang merasa berhak melakukan apapun terhadap siapapunβ adalah rumah yang saya tolak. Rumah yang padanya βorang-orang saling mengabaikanβ adalah rumah yang bukan rumah. Penghuni rumah harus belajar mengerti privasi sekaligus mengerti kebersamaan. Belajar menghargai kurang dan lebih. Belajar mensyukuri yang ada. Itu seni yang sulit.
Saat menulis Liebster Award, saya meminta teman-teman memilih kebijaksanaan atau uang. Saya pribadi, sih, pilih uang. Bukan karena uang lebih berguna (dan kegunaannya bisa untuk selain saya). Bukan juga karena saya sudah bijaksana. Saya pilih kebijsaksanaan simply karena kebijaksanaan tidak bisa diperoleh secara pintas dan praktis. Kebijaksanaan harus tumbuh lewat proses yang terus menerus, ketahanan menghadapi masalah, tekad kuat memilih dan memeluk kebaikan.
***
Kemarin saya mengunjungi makam beliau. Ziarah.
Pemahaman saya tentang ziarah mungkin berbeda dari kebanyakan orang. Buat saya, setelah ruh kembali pada Tuhan, dan jasad habis dimamah tanah, urusan sudah selesai. Nafsu sedari masih hidup telah dihukum di dalam kubur bernama dada. Mengunjungi makam bukanlah untuk siapa-siapa kecuali untuk diri sendiri. Berdiri di depan sebuah makam (maqam, tempat berdiri) berarti mengenang posisi iman seseorang di masa lalu. Mengingat perannya hidupnya. Mengkaji ketangguhan. Menyuling hikmah.
Saya menziarahi kisah Mak Fat dalam hening saya sendiri. Makamnya adalah candi mungil tempat saya menghaturkan pujian pada sejarah sekaligus masa depan. Sedang batu nisannya adalah prasasti pelajaran-pelajaran. []
Tinggalkan Balasan ke jessmite Batalkan balasan