Ada suatu ngilu yang mampir di hati saya, yang sekaligus membuat bulu kuduk saya berdiri, mengetahui bahwa manusia baru hanya menjamah 5% lautan di bumi.
Sejumlah kawan selalu mengejek saya karena berpikir bahwa kraken (gurita raksasa yang menghancurkan kapal-kapal) benar-benar ada. Tapi saya diam saja. Barangkali mereka sungguh-sungguh tidak mengenal kebudayaan laut serta mitos-mitosnya―yang nyata.
Memang agak ganjil menperdampingkan kata mitos dan nyata, tapi bila ganjil hanyalah soal kaidah bahasa, saya berharap manusia tidak buru-buru tinggi hati. Sebab, bukan bahasa yang membentuk realitas kita. Realitaslah yang membentuk bahasa.
Misalnya: sejumlah masyarakat nelayan di Nusantara memiliki mitos bahwa nama hewan darat tidak boleh disebut di laut, karena laut akan cemburu dan ikan-ikan akan disuruhnya pergi. Itu mitos. Tapi jantung modernitas saya terguncang karena saya pernah mengalaminya langsung: ketika ikut melaut sebagai anak bawang bersama warga Kangean, saya tidak sengaja menyebut “ayam”. Semua nelayan mangkel. Laut yang mulanya berombak kemudian berangsur tenang. Terlalu tenang, bahkan, hampir tidak ada ombak. Nihil tanda pergerakan ikan. Semua terjadi dalam hitungan menit. Maka mereka kompak mengangkat jaring, menyimpan pancing. Tidak ada aktivitas sampai malam. Waktu terbuang. Rejeki hilang. Saya dirundung rasa bersalah sekaligus tergugah.
They have myths about sea, and they find them real.
Realitas yang mereka temukan melahirkan narasi tentang mitos-mitos. Bila kita memaknai mitos sebagai khayalan, itu sepenuhnya urusan kita.
Kedangkalan kita.
***
Seperempat darah saya adalah Mandar. Kakek saya bukan orang Sasak. Bahkan kami menyebutnya Nenek Aji. Beliau adalah legenda di Kampung Mandar Labuan Haji, Lombok Timur. Dulu, kapal rekanan bisnisnya tidak bisa berlabuh di pantai Labuan. Seperti ada dinding tak kasat mata yang menghalanginya, beberapa ratus meter dari bibir pantai. Oleh Nenek Aji, seorang anak buahnya dikirim dengan perahu kecil sambil membentangkan seutas benang. Gelas benang itu dipegang oleh Nenek Aji di bibir pantai, sedang ujung benangnya dibawa si anak buah dan diikatkan di buritan kapal. Nenek Aji kemudian menarik kapal itu, pelan-pelan, sampai ke darat. Seutas benang.
Saya pernah menemui saksi hidup, tiga manula di Labuan. Mereka pernah melihat Nenek Aji sembahyang di atas laut karena perahu yang dipakainya kecil. Bahkan sepupu Nenek Aji datang membesuknya dari Mandar dengan berjalan kaki di atas laut. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian itu.
Saya tidak menceritakan ini untuk pamer atau membuat legitimasi untuk berbicara tentang laut. Yang ingin saya katakan adalah: ada banyak orang dari kebudayaan laut di Nusantara yang pernah melihat ‘lebih banyak’ dari kita, yang hanya berani ongkang-ongkang kaki di darat ini; mereka mengalami hal-hal yang melampaui nalar. Pelaut-pelaut Suku Bajo yang menyelam selama berjam-jam tanpa bantuan alat pernapasan: apa yang sudah mereka lihat di dalam sana?
Sejumlah komunitas nelayan tahu betul bahwa di tengah laut terdapat perkampungan―tidak kasat mata―sehingga di daerah-daerah tertentu mereka tidak boleh berisik, atau saling menyebut nama, agar penduduk kampung itu tidak terganggu atau merasa tertarik pada nama-nama itu. Sebab ada banyak kejadian di mana nelayan mengikuti suara yang memanggil-manggil nama mereka di malam hari, jelas dan jernih, dan akhirnya mereka tersesat di antah berantah lautan.
Hampir semua bangsa nelayan juga memiliki mitos tentang pulau yang tak terdeteksi peta; pulau itu bergentayangan menghampiri nelayan yang kelelahan, menyediakan tempat istirahat dan sumber air serta sedikit bebuahan. Mitos itu diadopsi Life of Pie, tapi ratusan nelayan di beberapa komunitas telah bersaksi mereka pernah menemukan pulau gaib itu.
Rata-rata komunitas sufi-nelayan di pesisir barat Lombok mengakui keberadaan gua raksasa sepanjang beberapa puluh kilometer yang pintunya ada di bawah laut barat. Apa yang ada di dalam sana?
Agak menarik untuk dikatakan bahwa orang Lombok punya kedekatan tertentu dengan “dunia air.” Ada banyak cerita lisan tentang sumber-sumber air (seperti di Suranadi, Aiq Mel, Lingsar) yang dijaga oleh hewan gaib tertentu (tune, belut). Kisah terkenal Puteri Mandalika, yang meredam ancaman perang saudara karena memperebutkan cintanya, menerjunkan diri ke laut dan berubah menjadi nyale. Saya punya seorang kawan, asal Kembang Kerang Lombok Timur, yang keluarganya telah turun temurun menjaga pintu gaib di sebuah sumber air. Pada saya, mereka ringan bercerita bahwa jalan bawah tanah di sumber air itu tembus hingga ke Kota Air Narmada. Seakan di bawah pulau Lombok ada dunia yang sama sekali lain. Saya bayangkan warnanya biru keperakan.
Di Lombok Timur juga, ada dua sumber air kembar yang terletak di dua desa berjauhan. Dua sumber air itu merupakan ‘suami-istri’. Masyarakat Sasak kuno, entah di abad ke berapa, telah menenggelamkan seperangkat gendang beleq (alat musik khas Suku Sasak) di dalam kedua sumber air tersebut. Bila sumber air di desa A mendadak mengering, penduduknya harus bertandang dan memainkan gendang beleq di sumber air desa B.
***
Saya pernah, sekali, bermain kano di pantai Malimbu. Saya mendayung ke tengah teluk. Kemudian turun hujan deras.
Langit berwarna putih kelabu. Bukit-bukit ikut memutih karena pengaruh kabut air. Yang membuat saya tercenung lama sekali adalah lautan: goyang ombak yang ditimpuki bulir-bulir hujan terlihat seperti kain yang dibentangkan di udara dengan hiasan mutiara-mutiara putih. Saya tercenung lama sekali di tengah laut. Saya merasa kecil dan jauh. Betapa tua laut ini. Betapa indah dan misterius ia. Dan betapa congkaknya manusia.
Banyak yang tidak tahu daratan tercipta oleh ‘masyarakat samudera’.
Pemasok oksigen pertama di bumi adalah tetumbuhan kecil di laut, berupa lendir-lendir hijau. Tetumbuhan kecil inilah yang menjadi nenek moyang pohon sekaligus hewan. Merekalah yang mengeluarkan gelembung-gelembung oksigen ke permukaan, kemudian berpecahan, kemudian naik ke udara, memenuhi langit kita di masa-masa awal penciptaan. Proses itu berlangsung lama, ratusan juta tahun. Barulah di sekitar 500 juta tahun lalu, tetumbuhan laut sederhana itu berkembang menjadi lebih mirip daun pipih atau batang hijau gemuk pendek.
Makhluk pertama di darat berasal dari tetumbuhan di laut. Merekalah yang terdampar ke gunung-gunung batu, dan bersama cuaca, mereka memecah batu-batu itu dengan akar-akar kecilnya dan menghancurkannya menjadi tanah. Setiap dari mereka yang mati menjadi tanah, sebagai cikal bakal daratan. Proses itu berjalan lambat, sekali lagi, ratusan juta tahun. Merekalah yang kemudian berkembang menjadi pepohonan, kemudian menjadi hewan.
Kita anak laut dan pohon.
Bagi saya, itu romantis.
***
Bagaimana mitos bekerja?
Ada semacam mufakat di kalangan budayawan, bahwa “sekurang-kurangnya” mitos bisa dipahami bukan sebagai fakta. Yang harus dilihat dari mitos adalah fungsi.
Fungsi mitos adalah mengarahkan kesadaran, landasan bagi gerak-gerik kebudayaan. Mitos adalah narasi, sama halnya ketika kitab suci berbicara tentang kejadian penciptaan (saya tidak bilang kitab suci berisi mitos, ya). Kalau umat Islam, misalnya, yakin bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam, maka masyarakatnya cenderung patriarki. Perempuannya akan tersudut secara kebudayaan, dibatasi peran-peran publiknya. Hal itu berlawanan dengan peran penting para Ibunda Kaum Mukminin, seperti Aisyah, Hafsah, dll. Mitos tentang hutan pun demikian. Orang Rimba Pedalaman percaya bahwa Tuhan mereka berfigur penghukum, sehingga mereka takut merusak hutan. Mereka sinis pada orang kota yang Tuhannya berfigur pengampun, sehingga orang kota ringan saja merusak hutan. Mitos-mitos tentang laut pun demikian. Sekali lagi: sekurang-kurangnya, mitos berfungsi untuk membentuk kesadaran masyarakat.
Tapi itu cuma sekurang-kurangnya.
Masalahnya, sebagian mitos juga dipercaya sebagai kebenaran. Budayawan menjelaskan ‘mitos sebagai fungsi’ hanya karena masyarakat mulai termodernkan. Tapi budayawan juga punya penjelasan lain: mitos mengandung petunjuk tentang suatu yang nyata. Hanya saja, mitos itu harus diterjemahkan lewat bahasa lain. Kita tahu mitologi dituturkan oleh masyarakat kuno yang sebetulnya memiliki kaidah bahasa simbolik. Sebutan ‘tujuh’ tidak berarti bilangan berjumlah tujuh, melainkan bermakna “sesuatu yang tidak terhingga.” Sebutan ‘enam’ berarti “sesuatu yang belum selesai.” Karena itulah dalam al-Qur’an ada sebutan tujuh langit tujuh bumi, tujuh surga tujuh neraka, atau, bahwa bumi diciptakan dalam enam hari.
Sebuah dongeng dalam babad Lombok menerangkan bahwa Desa Sembalun (di kaki gunung Rinjani) pada mulanya adalah hutan, kemudian didatangi oleh Ki Entah Siapa. Ia melempar dua batang kayu dan di tempat mendaratnya kayu itu tumbuhlah padi-padi. Dongeng itu harus dibaca sebagai: teknologi pertanian di Sembalun diajarkan oleh orang Jawa.
Dongeng adalah petunjuk mengenai sesuatu yang ril. Karena memahami mitos sebagai petunjuk itulah Colombus memulai ekspedisi lautan menemukan El-Dorado, dan Prof. Arysio Santos menghabiskan lebih dari 30 tahun untuk meneliti Nusantara Kuna sebagai wilayah Atlantis. Mitos juga diteliti dan digunakan oleh ‘orang-orang yang selama ini kalah silau di hadapan peradaban Barat’ untuk memulihkan rasa percaya diri.
Mitologi laut dan dunia air, terutama yang berkembang di Lombok, juga menggelitik saya. Saya ingin menelitinya baik dengan penelitian saintifik (dunia kasat mata) atau penelitian transendental (dunia tak kasat mata). Mana tahu saya bakal nemu atlantis kuno, kan. Atau, ternyata, Zeus bukan sosok raksasa pemegang trisula, melainkan seorang kakek bijak berbaju putih yang gemar berkeliling samudera untuk memperingatkan ikan-ikan, menyelamatkan nelayan-nelayan yang tersesat, memandu jiwa mereka yang mati di laut, atau menggerutui kerusakan yang diciptakan peradaban manusia.
Hmm, menarik, menarik.[]
Tinggalkan komentar