Laut

Ada suatu ngilu yang mampir di hati saya, yang sekaligus membuat bulu kuduk saya berdiri, mengetahui bahwa manusia baru hanya menjamah 5% lautan di bumi.

Sejumlah kawan selalu mengejek saya karena berpikir bahwa kraken (gurita raksasa yang menghancurkan kapal-kapal) benar-benar ada. Tapi saya diam saja. Barangkali mereka sungguh-sungguh tidak mengenal kebudayaan laut serta mitos-mitosnya―yang nyata.

Memang agak ganjil menperdampingkan kata mitos dan nyata, tapi bila ganjil hanyalah soal kaidah bahasa, saya berharap manusia tidak buru-buru tinggi hati. Sebab, bukan bahasa yang membentuk realitas kita. Realitaslah yang membentuk bahasa.

Misalnya: sejumlah masyarakat nelayan di Nusantara memiliki mitos bahwa nama hewan darat tidak boleh disebut di laut, karena laut akan cemburu dan ikan-ikan akan disuruhnya pergi. Itu mitos. Tapi jantung modernitas saya terguncang karena saya pernah mengalaminya langsung: ketika ikut melaut sebagai anak bawang bersama warga Kangean, saya tidak sengaja menyebut “ayam”. Semua nelayan mangkel. Laut yang mulanya berombak kemudian berangsur tenang. Terlalu tenang, bahkan, hampir tidak ada ombak. Nihil tanda pergerakan ikan. Semua terjadi dalam hitungan menit. Maka mereka kompak mengangkat jaring, menyimpan pancing. Tidak ada aktivitas sampai malam. Waktu terbuang. Rejeki hilang. Saya dirundung rasa bersalah sekaligus tergugah.

They have myths about sea, and they find them real.

Realitas yang mereka temukan melahirkan narasi tentang mitos-mitos. Bila kita memaknai mitos sebagai khayalan, itu sepenuhnya urusan kita.

Kedangkalan kita.

***

Seperempat darah saya adalah Mandar. Kakek saya bukan orang Sasak. Bahkan kami menyebutnya Nenek Aji. Beliau adalah legenda di Kampung Mandar Labuan Haji, Lombok Timur. Dulu, kapal rekanan bisnisnya tidak bisa berlabuh di pantai Labuan. Seperti ada dinding tak kasat mata yang menghalanginya, beberapa ratus meter dari bibir pantai. Oleh Nenek Aji, seorang anak buahnya dikirim dengan perahu kecil sambil membentangkan seutas benang. Gelas benang itu dipegang oleh Nenek Aji di bibir pantai, sedang ujung benangnya dibawa si anak buah dan diikatkan di buritan kapal. Nenek Aji kemudian menarik kapal itu, pelan-pelan, sampai ke darat. Seutas benang.

Saya pernah menemui saksi hidup, tiga manula di Labuan. Mereka pernah melihat Nenek Aji sembahyang di atas laut karena perahu yang dipakainya kecil. Bahkan sepupu Nenek Aji datang membesuknya dari Mandar dengan berjalan kaki di atas laut. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian itu.

Saya tidak menceritakan ini untuk pamer atau membuat legitimasi untuk berbicara tentang laut. Yang ingin saya katakan adalah: ada banyak orang dari kebudayaan laut di Nusantara yang pernah melihat ‘lebih banyak’ dari kita, yang hanya berani ongkang-ongkang kaki di darat ini; mereka mengalami hal-hal yang melampaui nalar. Pelaut-pelaut Suku Bajo yang menyelam selama berjam-jam tanpa bantuan alat pernapasan: apa yang sudah mereka lihat di dalam sana?

Sejumlah komunitas nelayan tahu betul bahwa di tengah laut terdapat perkampungan―tidak kasat mata―sehingga di daerah-daerah tertentu mereka tidak boleh berisik, atau saling menyebut nama, agar penduduk kampung itu tidak terganggu atau merasa tertarik pada nama-nama itu. Sebab ada banyak kejadian di mana nelayan mengikuti suara yang memanggil-manggil nama mereka di malam hari, jelas dan jernih, dan akhirnya mereka tersesat di antah berantah lautan.

Hampir semua bangsa nelayan juga memiliki mitos tentang pulau yang tak terdeteksi peta; pulau itu bergentayangan menghampiri nelayan yang kelelahan, menyediakan tempat istirahat dan sumber air serta sedikit bebuahan. Mitos itu diadopsi Life of Pie, tapi ratusan nelayan di beberapa komunitas telah bersaksi mereka pernah menemukan pulau gaib itu.

Rata-rata komunitas sufi-nelayan di pesisir barat Lombok mengakui keberadaan gua raksasa sepanjang beberapa puluh kilometer yang pintunya ada di bawah laut barat. Apa yang ada di dalam sana?

Agak menarik untuk dikatakan bahwa orang Lombok punya kedekatan tertentu dengan “dunia air.” Ada banyak cerita lisan tentang sumber-sumber air (seperti di Suranadi, Aiq Mel, Lingsar) yang dijaga oleh hewan gaib tertentu (tune, belut). Kisah terkenal Puteri Mandalika, yang meredam ancaman perang saudara karena memperebutkan cintanya, menerjunkan diri ke laut dan berubah menjadi nyale. Saya punya seorang kawan, asal Kembang Kerang Lombok Timur, yang keluarganya telah turun temurun menjaga pintu gaib di sebuah sumber air. Pada saya, mereka ringan bercerita bahwa jalan bawah tanah di sumber air itu tembus hingga ke Kota Air Narmada. Seakan di bawah pulau Lombok ada dunia yang sama sekali lain. Saya bayangkan warnanya biru keperakan.

Di Lombok Timur juga, ada dua sumber air kembar yang terletak di dua desa berjauhan. Dua sumber air itu merupakan ‘suami-istri’. Masyarakat Sasak kuno, entah di abad ke berapa, telah menenggelamkan seperangkat gendang beleq (alat musik khas Suku Sasak) di dalam kedua sumber air tersebut. Bila sumber air di desa A mendadak mengering, penduduknya harus bertandang dan memainkan gendang beleq di sumber air desa B.

***

Saya pernah, sekali, bermain kano di pantai Malimbu. Saya mendayung ke tengah teluk. Kemudian turun hujan deras.

Langit berwarna putih kelabu. Bukit-bukit ikut memutih karena pengaruh kabut air. Yang membuat saya tercenung lama sekali adalah lautan: goyang ombak yang ditimpuki bulir-bulir hujan terlihat seperti kain yang dibentangkan di udara dengan hiasan mutiara-mutiara putih. Saya tercenung lama sekali di tengah laut. Saya merasa kecil dan jauh. Betapa tua laut ini. Betapa indah dan misterius ia. Dan betapa congkaknya manusia.

Banyak yang tidak tahu daratan tercipta oleh ‘masyarakat samudera’.

Pemasok oksigen pertama di bumi adalah tetumbuhan kecil di laut, berupa lendir-lendir hijau. Tetumbuhan kecil inilah yang menjadi nenek moyang pohon sekaligus hewan. Merekalah yang mengeluarkan gelembung-gelembung oksigen ke permukaan, kemudian berpecahan, kemudian naik ke udara, memenuhi langit kita di masa-masa awal penciptaan. Proses itu berlangsung lama, ratusan juta tahun. Barulah di sekitar 500 juta tahun lalu, tetumbuhan laut sederhana itu berkembang menjadi lebih mirip daun pipih atau batang hijau gemuk pendek.

Makhluk pertama di darat berasal dari tetumbuhan di laut. Merekalah yang terdampar ke gunung-gunung batu, dan bersama cuaca, mereka memecah batu-batu itu dengan akar-akar kecilnya dan menghancurkannya menjadi tanah. Setiap dari mereka yang mati menjadi tanah, sebagai cikal bakal daratan. Proses itu berjalan lambat, sekali lagi, ratusan juta tahun. Merekalah yang kemudian berkembang menjadi pepohonan, kemudian menjadi hewan.

Kita anak laut dan pohon.

Bagi saya, itu romantis.

***

Bagaimana mitos bekerja?

Ada semacam mufakat di kalangan budayawan, bahwa “sekurang-kurangnya” mitos bisa dipahami bukan sebagai fakta. Yang harus dilihat dari mitos adalah fungsi.

Fungsi mitos adalah mengarahkan kesadaran, landasan bagi gerak-gerik kebudayaan. Mitos adalah narasi, sama halnya ketika kitab suci berbicara tentang kejadian penciptaan (saya tidak bilang kitab suci berisi mitos, ya). Kalau umat Islam, misalnya, yakin bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam, maka masyarakatnya cenderung patriarki. Perempuannya akan tersudut secara kebudayaan, dibatasi peran-peran publiknya. Hal itu berlawanan dengan peran penting para Ibunda Kaum Mukminin, seperti Aisyah, Hafsah, dll. Mitos tentang hutan pun demikian. Orang Rimba Pedalaman percaya bahwa Tuhan mereka berfigur penghukum, sehingga mereka takut merusak hutan. Mereka sinis pada orang kota yang Tuhannya berfigur pengampun, sehingga orang kota ringan saja merusak hutan. Mitos-mitos tentang laut pun demikian. Sekali lagi: sekurang-kurangnya, mitos berfungsi untuk membentuk kesadaran masyarakat.

Tapi itu cuma sekurang-kurangnya.

Masalahnya, sebagian mitos juga dipercaya sebagai kebenaran. Budayawan menjelaskan ‘mitos sebagai fungsi’ hanya karena masyarakat mulai termodernkan. Tapi budayawan juga punya penjelasan lain: mitos mengandung petunjuk tentang suatu yang nyata. Hanya saja, mitos itu harus diterjemahkan lewat bahasa lain. Kita tahu mitologi dituturkan oleh masyarakat kuno yang sebetulnya memiliki kaidah bahasa simbolik. Sebutan ‘tujuh’ tidak berarti bilangan berjumlah tujuh, melainkan bermakna “sesuatu yang tidak terhingga.” Sebutan ‘enam’ berarti “sesuatu yang belum selesai.” Karena itulah dalam al-Qur’an ada sebutan tujuh langit tujuh bumi, tujuh surga tujuh neraka, atau, bahwa bumi diciptakan dalam enam hari.

Sebuah dongeng dalam babad Lombok menerangkan bahwa Desa Sembalun (di kaki gunung Rinjani) pada mulanya adalah hutan, kemudian didatangi oleh Ki Entah Siapa. Ia melempar dua batang kayu dan di tempat mendaratnya kayu itu tumbuhlah padi-padi. Dongeng itu harus dibaca sebagai: teknologi pertanian di Sembalun diajarkan oleh orang Jawa.

Dongeng adalah petunjuk mengenai sesuatu yang ril. Karena memahami mitos sebagai petunjuk itulah Colombus memulai ekspedisi lautan menemukan El-Dorado, dan Prof. Arysio Santos menghabiskan lebih dari 30 tahun untuk meneliti Nusantara Kuna sebagai wilayah Atlantis. Mitos juga diteliti dan digunakan oleh ‘orang-orang yang selama ini kalah silau di hadapan peradaban Barat’ untuk memulihkan rasa percaya diri.

Mitologi laut dan dunia air, terutama yang berkembang di Lombok, juga menggelitik saya. Saya ingin menelitinya baik dengan penelitian saintifik (dunia kasat mata) atau penelitian transendental (dunia tak kasat mata). Mana tahu saya bakal nemu atlantis kuno, kan. Atau, ternyata, Zeus bukan sosok raksasa pemegang trisula, melainkan seorang kakek bijak berbaju putih yang gemar berkeliling samudera untuk memperingatkan ikan-ikan, menyelamatkan nelayan-nelayan yang tersesat, memandu jiwa mereka yang mati di laut, atau menggerutui kerusakan yang diciptakan peradaban manusia.

Hmm, menarik, menarik.[]

49 tanggapan untuk “Laut”

  1. Saya juga pernah baca buku Life of Pi. Ada pulau misterius yang muncul ketika Pi terombang-ambing di lautan. Diceritakan terdapat pohon raksasa yang berbuah namun di dalam buah tersebut terdapat gigi manusia. Dataran pulau di bawah pohon tersebut pun sangat asam. Sungguh cerita yang di luar nalar.

    1. Life of Pie memang kisah fiksi. Ceritanya menarik, tapi, ya, terasa tidak masuk akal karena keseluruhan philosophical and spiritual point film itu sangat disamarkan 🙂

      1. Saya tidak nonton filmnya. Tapi baca bukunya. Life of Pi. Nama pemerannya Piscine Patel

      2. Piscine Patel. Sepertinya lebih enak baca novelnya, ya, Kak?

      3. Iya lebih detil. Saya juga tertarik nonton filmnya

      4. Kalau sudah baca buku, kemungkinan nonton filmnya jadi kurang asik. Tapi dari filmografi, film itu sudah keren banget 🙂

    2. Jika tulisan ini aku temukan tanpa nama, aku pasti tahu kau yang menulisnya. Saya sangat nikmati dan hayati setiap kalimat yang kau tulis Bang Ical and “Kita berasal dari air dan pohon” 🙂 indeed incredibly romantic!! Anyway, tulisan ini mengingatkanku pada Whanganui River dan hutan sekitarnya yang beberapa tahun lalu mendapatkan hak perlindungan yang sama seperti manusia 🙂 Maori percaya nenek moyang mereka adalah air 🙂 exactly like you said in your writing!! Secara fisiologis tumbuh kita sebagian besar terdiri dari air. Hugggg!!

      1. Suku Maori! Saya terharu sekali, Kak, waktu tahu mereka berhasil memperjuangkan identitas sungai Whanganui sekaligus hak-haknya di depan hukum. Perdebatan tentang “subjek moral” selalu menyenangkan :’)

        Makasih ya Kak Zi, sudah membaca tulisan ini! ☺️

  2. Wow, saya ingin ceritanya lebih panjang dari ini. Menarik. Part kedua dan selanjutnya bakal ditulis kan kak? ~

    Saya tidak tahu apakah mitos di Lombok lebih banyak dari pada yang berkembang di Jawa. Tapi ada seorang kawan yang memang mengatakan kalau hal2 gaib sering terjadi di lingkungannya, bahkan saat muncul bencana seperti gempa kemarin. Kalau di sini, cerita tentang laut ya seputar Nyi Roro Kidul dan hubungannya dengan Sultan.

    Btw, saya sangat suka laut dan membaca ini rasanya pingin snorkling lagi. 😆

    1. Insyaallah, bakal terus mengeksplorasi hal-hal semacam ini. Didetailkan 😉

      Waktu gempa, dulu, orang-orang sempat heboh karena muncul jejak telapak tangan di banyak rumah. Hampir semua kabupaten, hampir tiap kecamatan, kasus jejak telapak tangan itu ada. Orang-orang sepuh bilang, pas Rinjani meletus dulu juga tanda semacam itu juga muncul. Sayangnya waktu itu Kakak di Malang, jadi ndak bisa nyari tahu 🙂 Mitos apa yang Frida dengarkan?

      Tos dulu kita, penyuka laut dan snorkeling 😉

      1. Wow woww wooww!! Sama persis dgn yg saya dengar dari kawan. Waah saya jadi merinding ini.. 😵🙈 katanya jejak telapak tangan itu ada di dinding2. Ngeri juga seperti itu yaa..

        Toss 🤚

      2. Biasanya memang wajar banyak cerita mistik yang beredar saat terjadi bencana. Traditional society needs explanation. Cerita mistik itu nanti dihubung-hubungkan dalam rangkaian sebab akibat yang saling bergumul antara dosa sosial, bencana, dan cerita mistik. Tapi di Lombok ada jejak fisiknya, massal pula, jadi agak gimana gitu 😅

      3. Keberadaan yang gaib memang ada. Tapi kelihatannya di Lombok jauh lebih banyak kejadiannya ya 🙈

      4. Nah, itu yang Kakak maksud dengan penelitian: ingin kudata semuanya satu per satu dan mencicipinya T_T

  3. Dari Lochness, Poseidon sampai Pantai selatan sangat menarik kalau diulik.

    Saya juga bingung kenapa manusia lebih terampil dalam menjelajah antariksa dari pada lautan.

    1. Betul juga. Proyek antariksa lebih ambisius. Mungkin karena itu ada sebagian orang yang berpikir bahwa propaganda ambisi antariksa adalah sebuah ‘pengalih perhatian’ 🙂

      1. Atau bisa jadi begitulah naluri manusia. Lebih tertarik dengan yang nun jauh di sana, daripada mempelajari bumi sendiri.

      2. … Semacam kontradiksi. Rasanya seperti pandai soal politik tapi tidak bisa membedakan mana jahe dan mana lengkuas 🙂

  4. Reblogged this on GONUTIFY and commented:
    Sangat menarik bang ical untuk tulisannya

    1. Terima kasih Nutify 🙂🙂

  5. kraken itu dari nordik ya, bang?
    sering-sering dong bang nulis soal mitologi, seru banget bacanya. Apalagi yg dari lombok itu baru tau saya. Terimakasih bang atas pengetahuannya yang sudah mau dibagi 🙂

    1. Umumnya cerita tentang Kraken berkembang di masyarakat yang karib dengan bajak laut 😉

      Insyaallah, bakal diulas lebih detail lagi esok-lusa ☺️

  6. Waw, ulasan yg keren, ditulis hampir tdk ad typo sama skli, kcuali di alinea 3. Sebuah perspektif lain dlm memandang laut.

    Saya suka dg kalimat Anda:
    “… bukan bahasa yang membentuk realitas kita. Realitaslah yang membentuk bahasa.”

    1. Sayangnya blog ini ndak ada editor bahasanya :’)

      Terima kasih Pak Guru! ☺️

  7. Menarik sekali ulasan ini bang, salam hangat🙏

    Saya tunggu ulasan selanjutnya soal ‘dunia air’ hehe

      1. Riza Isna Khoirun Nisa Avatar
        Riza Isna Khoirun Nisa

        Nggak tahu harus komentar bagaimana. 😅 Baca ulasan kakak ini seru sekali, keren pokoknya, apalagi sajian tulisannya rapi. Tulisan yang cukup panjang, tetapi tidak membosankan. Selain itu, saya jadi beroleh banyak wawasan baru dari sini. Terima kasih, Kak.

      2. Riza, you really explore my blog? 🙂

        I explored your name on Google and found some writings of yours. Tentang macam-macam metode belajar di IDN? Izinkan aku menggunakannya sebagai materi MOS, ya 🙂

      3. Riza Isna Khoirun Nisa Avatar
        Riza Isna Khoirun Nisa

        Hehe iya Kak, tulisan kakak topiknya menarik-menarik dan insightful 😅

        Boleh, Kak. Silakan 😄
        BTW, baru sadar kalau komenku nyasar di komentar yang lain ya wkwk

      4. Iyaa, komentar Riza nyantol di komentar lain 😅

      5. Riza Isna Khoirun Nisa Avatar
        Riza Isna Khoirun Nisa

        Duh, aku bikin malu wkwk 🤣
        Maaf ya Kak 😂

      6. Lah, ngapain malu 😂

      7. Riza Isna Khoirun Nisa Avatar
        Riza Isna Khoirun Nisa

        Nggak sadar nyasar wkwk

      8. Mungkin waktu itu baru bangun jadi belum fokus 😅

      9. Riza Isna Khoirun Nisa Avatar
        Riza Isna Khoirun Nisa

        Sepertinya kekurangan asupan AQ** 🤣

      10. Pakai galon isi ulang sih 🤣

  8. Saya suka pembahasan soal mitos disini. Mitos itu sbnrnya bs dibaca maknanya dgn penalaran logis. Jd bkn dipahami scr mentah. Misal, mitos soal anak gadis kl duduk dpn pintu nanti susah dpt jodoh. Logikanya kan pintu itu biasanya emang buat orang lewat keluar-masuk. Lha kl kita duduk dpn pintu otomatis kita menghalangi jalan donk. Menarik! Ditunggu tulisan selanjutnya 👍👍

    1. Betul, mitos bisa dibaca secara logis 😉 Siap, Kak Luna, terima kasih banyak 😉

  9. Menarik sekali, terima kasih tulisannya. Diksi Abang kaya raya betul. Bikin iri 😬

    Semoga ada ulasan tentang putri duyung, hehehe. Meski mitos, banyak kebudayaan yang tidak asing dengan konsep mahluk setengah manusia dn setengah ikan ini, dan bahkan tersiar kabar beberapa nelayan Lombok pernah tidak sengaja menangkapi mereka. Menariknya, tidak satupun kisah-kisah lisan ini mengatakan putri duyung seperti yang digambarkan H.C. Andersen, termasuk ‘kesaksian’ Columbus.

    Kali aja bisa diriset lebih dalam, cheers 🙂

    1. Saya kepingin meneliti tentang puteri duyung, Kak Julia. Sepertinya asyik. Penelitian-penelitan asyik macam begini salah satunya disuguhkan oleh Marvin Haris. Tapi saya pengin coba riset kecil-kecilan saja 😀

      Oya, jangan iri >,<

  10. Sampai sekarang, abi paling nggak mau naik kapal. Mungkin salah satu alasannya ini. 😬

    Sewaktu SD, saya suka banget nontonin dokumentasi, teori tentang makhluk-makhluk seperti ini. Yang masih saya ingat itu Nessie-nya Loch Ness, walaupun sampai sekarang masih belum tahu dia bener-bener ada atau nggak. Kalaupun dia ternyata terbukti tidak nyata, saya cukup yakin pasti ada Nessie-Nessie lain jauh di pelosok lautan yang belum terjamah oleh manusia.

    1. Masa Abi takut sama Kraken 😂

      Sudah banyak sekali orang yang mencoba meneliti Loch Ness. Ada beberapa ilmuan yang malah tergila-gila. Tapi hasilnya beragam. Terlihat tapi samar, terlihat ternyata bukan, atau tidak terlihat sama sekali. Entah Loch Ness itu makhluk gaib atau tidak, tapi menurut abang, meneliti dunia non-fisik dengan pendekatan fisik adalah tindakan konyol 😉

      1. Kalau itu nggak tahu ya? Abi maunya naik kapal besar yang kapal barang aja, tapi kalau naik perahu dan lain-lain, nggak mau.

        Berarti menurut abang, makhluk macam Nessie itu ada di dunia yang nggak sama dengan kita, ya?

      2. Abang cuma berpendapat begini: keberadaan dunia lain tidak semestinya tidak diakui. ‘Dunia lain’ itu bukan dunia hantu, ya, maksudnya. Tapi dunia yang seperti kita, punya kebudayaan dan peradaban, hanya saja tidak nampak. Tentu di sana ada hewan-hewan tertentu, sosok-sosok tertentu. Seorang teman pernah bilang kalau hewan-hewan yang kini dianggap punah sesungguhnya tidak benar-benar punah. Saat komunitas mereka tinggal sedikit, ada wali-wali Allah yang mengambil mereka dan dikirim ke ‘dunia dalam pagar’. Semacam wilayah tak kasat mata. Agar mereka selamat dari keserakahan manusia 🙂

  11. Mitos laut masyarakat lombok. Menarik sekali, Bang. Informasi ini pertama kali saya serap.

    1. Terima kasih, Ustadz. Biasanya informasi apa yang terserap? 🙂

      1. Kalau yg paling sering sih mitos-mitos di masyarakat Jawa, Bang. Terkadang mitos masyarakat Kalimantan sebab di sini banyak sekali perantau dari Pontianak. Sekali saya dengar mitos masyarakat Bajo dan masyarakat Sulawesi.

        Kalau yang Lombok ini benar-benar pertama kali 🙂

  12. Thales sang pionir filsafat alam kayaknya pernah bilang bahwa “Semua adalah air,” Bang Ical. Baca tulisan Bang Ical yang ini saya dapat satu pemaknaan lain soal ucapan Thales itu.

    Dari dulu, mitos kelihatannya selalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu entah untuk tujuan apa. Sekali waktu saya pernah ngintip makalah tentang perdagangan rempah zaman Romawi dulu. Ternyata dulu pernah ada mitos bahwa lautan penuh monster-monster raksasa yang membuat perjalanan ke Timur, sumber rempah, begitu berbahaya. Ini melegitimasi harga rempah yang selangit dan menjaga kepopuleran Jalur Sutra. Mitos untuk mengekstraksi keuntungan (kayaknya sampai sekarang, sih, Bang). Tapi sejarah berkata bahwa akhirnya ada yang berani untuk ke Timur, melintasi lautan, menabrak dinding mitos…. mengawali kolonialisasi.

    1. Kalau dari tulisannya Pak Policarpus Swantoro, rempah mahal karena biaya perawatan selama pengiriman, serta biaya pajak setiap kali pengiriman melewati beberapa negara, yang juga membuatnya mahal. Tapi mitos untuk melipatgandakan keuntungan itu memang ada. Misalnya tasbih kauka; orang-orang bisa menjual kauka dengan mahal karena mitos harimau gunung yang harus dilewati dengan ilmu tertentu. Padahal, sebetulnya, kauka tidak untuk diperjual-belikan secara massal. Boleh dijual ketika terpaksa saja.

Tinggalkan komentar