Perang

Perang adalah peristiwa yang tidak pernah benar-benar diinginkan manusia. Hanya tikus-tikus haus uang, yang duduk di pucuk-pucuk dunia politik, bankir, pengusaha, dan militer, yang benar-benar menginginkan perang. Tikus-tikus itu meraup keuntungan yang tak terkira. Perang, bagi selain mereka, tidak diinginkan.

Kaum tertindas yang bangkit melawan mungkin tampak seperti menginginkan perang, tapi sesungguhnya mereka menginginkan kemerdekaan. Mereka mungkin sadar, perang dan/atau siklus kekerasan tidak pernah berujung baik. Setelah perang dan/atau siklus kekerasan, mereka harus memanggul bom waktu: hidup bersama di bawah rasa curiga yang siap meledak lagi kapan saja. Itulah yang terjadi pada masyarakat Hindu dan Muslim di India. Narasi kebencian dan persekusi yang meningkat tajam beberapa bulan terakhir merupakan warisan bom waktu dari perang dan siklus kekerasan yang pernah terjadi di masa lampau.

Sementara itu, kaum fanatik yang mendukung perlawanan kaum tertindas cenderung melihat perang sebagai pilihan romantik yang perlu diambil. Kaum fanatik itu tidak mengerti bahwa perang itu keji, penuh kecurangan dan membekaskan trauma. Mereka tidak punya pikiran yang cukup panjang untuk melihat bahwa perang bisa saja dimenangkan, tapi akan ada imbas yang merambat menjadi masalah-masalah baru yang tidak pernah diduga siapapun.

Saling serang, saling bakar, dan saling bunuh antara masyarakat Buddha dan Muslim di di Rakhine, Myanmar, mungkin dapat dihentikan dalam hitungan minggu, tapi gelombang pengungsi yang kehilangan rumah harus berhadapan dengan resiko diculik atau ditipu calo perdagangan manusia. Mereka diangkut ke atas kapal ilegal yang beroperasi di perairan internasional, diperlakukan sangat tidak manusiawi selama berminggu-minggu, sebelum akhirnya dijual atau dibiarkan membusuk di Thailand. Apakah pengelu-elu perang pernah memperkirakan imbas semacam itu?

Namun, ada masanya keputusan berperang memang tidak terhindarkan untuk diambil. Bila tidak, penjajahan akan terus berlangsung. Bila tidak, kemanusiaan akan terus terancam. Itu pilihan yang diambil, misalnya, oleh Palestina terhadap Israel.

Apa yang terjadi di Palestina bukanlah konflik. Konflik adalah kata yang menyederhanakan masalah Palestina-Israel, dipilih oleh media-media asuhan Global North untuk membohongi dan membodohi dunia. Kata itu harus ditolak, sebab yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dan pendudukan yang keji selama puluhan tahun (itu posisi debat yang seharusnya tidak bisa ditawar). Bila orang Palestina memutuskan untuk bangkit melawan, untuk berperang, itu wajar. Mungkin tidak semua penduduk Palestina setuju berperang, tapi seperti pengalaman Indonesia berjuang mengusir penjajah, konsensus bulat tidak dibutuhkan. Itu hukum sejarah.

Dalam pada itu, sebagai garis ideal, perang tetap harus diikuti dengan maksud-maksud yang bersifat sekaligus, yaitu: (a) untuk mempertahankan diri, (b) untuk menghentikan kekerasan, (c) untuk menegakkan kebenaran, dan (d) untuk mengembalikan martabat semua orang. Maksud-maksud ini tidak bisa berdiri sendiri. Maksud-maksud selain ini juga tidak akan membuat perang berbuah kemanusiaan. Perang dapat disebut “dimenangkan” ketika maksud-maksud di atas terpenuhi.

Bukankah perang tetap menjatuhkan korban? Pasti. Bukankah imbas perang tetap akan panjang? Sudah tentu. Tapi niat yang lurus membuka jalan lebih lapang untuk kemanusiaan. Niat yang lurus membuat manusia lebih ikhlas melihat kehilangan pasca perang. Niat yang lurus membuat manusia lebih mudah memaafkan duka masa lalu.

Setiap agama, bukan cuma Islam, punya sejarah di mana umatnya melihat ujung perang yang bijaksana. Menjelang akhir hidupnya, Muhammad Saw. mengalahkan rezim Quraisy tanpa satu orang pun yang dibunuh, tanpa satu rumah pun yang dirusak, dan tanpa ada balas dendam. Pernah ada bukti historis bahwa niat lurus lebih menjamin adanya itikad kemanusiaan pasca perang. Secara teoritis, itu bisa dilakukan dan diulang kembali. Tapi, memang siapa yang mau berperang?

Perang tidak pernah benar-benar diinginkan manusia. Mereka yang benar-benar punya alasan untuk berperang memang perlu didukung dalam koridor kemanuaiaan. Namun, mereka yang tidak butuh berperang sebaiknya tidak mengangankannya. Perang selalu memakan korban selain para perwira. Itu hukum mutlak. []

*

Satu tanggapan untuk “Perang”

  1. After 40+ days, I hope people can clearly see that it’s not just a matter of I. vs. P. or any country vs. their colonisers. It’s also about the systems that allow such hatred and racism to grow and spread like chronic illnesses – that we need to dismantle through collective actions.

    Btw, paragraf ketiga terbaik!

Tinggalkan komentar