Kesederhanaan dan Kemewahan Dalam Sejarah Islam

Pertarungan panjang antara ide kesederhanaan (asceticism) dan ide keberkemewahan (sybaritism) telah tampak dalam permulaan sejarah Islam. Pertarungan itu, sebetulnya, berakar pada persaingan keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah.

Nabi berasal dari keluarga Hasyim yang secara turun temurun (sejak Abdi Manaf) dipercaya oleh masyarakat Makkah secara luas untuk diberi tugas memungut pajak (rifadah) dan mendistribusikan air serta pangan untuk peziarah Kakbah (siqayah). Amanah suci dan turun temurun itu telah membentuk karakter keluarga Hasyim dengan sangat khas; mereka dikenal sebagai sosok yang adil, tulus, pengayom, pemberani, dermawan, dan, yang terpenting, hidup sederhana. Masyarakat Makkah mengenal keluarga Hasyim dari kualitas akhlak dan prestasi sosial, bukan dari harta.

Keluarga Umayyah sebetulnya juga merupakan anak keturunan Abdi Manaf, sama seperti keluarga Hasyim. Umayyah merupakan anak dari Abdi Syams, saudara kandung Hasyim. Sayang, Abdi Syams lebih sibuk sebagai seorang pebisnis berskala internasional sehingga tugas rifadah dan siqoyah konsisten turun kepada keturunan Hasyim (meski sempat beralih kepada saudara bungsu Hasyim). Umayyah meneruskan kegiatan bisnis Abdi Syams dan melupakan jabatan “basah” keluarga Hasyim yang justru menuntut tanggung jawab moral dan mengharuskannya melayani, bahkan, amat mungkin, berpotensi bikin jatuh merugi. Umayyah membuktikan bahwa bisnisnya jauh lebih “basah”.

Singkat kata, ada perbedaan esensial antara keluarga Hasyim dan Umayyah. Mayoritas keluarga Hasyim yang lebih banyak berdiam di Makkah lebih dipengaruhi oleh ide moral suku-suku nomaden (baduy). Mereka lebih menghormati karakter kesederhanaan yang terpatri dalam syair-syair suku-suku nomaden tersebut, yang merupakan cara hidup leluhur mereka. Sementara itu, mayoritas keluarga Umayyah yang berpengalaman melihat peradaban agung bangsa lain telah mengenal cara hidup yang lebih maju, telah mengerti budaya pergaulan internasional, telah mengetahui kekayaan sumber daya alam dan manusia, serta telah mencicipi nikmatnya kemewahan dan pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah dibayangkan oleh suku terpencil seperti Quraisy, di kota padang pasir seperti Makkah.

Perbedaan itu menjelaskan kenapa Abdul Mutallib, pemimpin Makkah, hanya memiliki sehelai tikar yang diletakkan di sisi Kakbah sebagai singgasananya. Ia dielu-elukan karena prestasinya menemukan kembali air zamzam yang hilang atau karena pilihannya untuk tidak meninggalkan Makkah saat pasukan gajah Abrahah datang menyerbu, lantaran ia yakin Makkah dijaga oleh Allah. Hamzah, paman Nabi, pendekar terbaik Makkah yang sanggup berkelahi dengan singa, dikenal karena pakaiannya yang itu-itu saja. Nabi dikenal dengan julukan “yang terpercaya” (al-amin). Ali bin Abi Thalib dikenal dengan julukan “bapak debu” (abu turab) mengingat pekerjaannya sebagai buruh kasar yang paling kasar. Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang klannya dekat dengan Bani Hasyim, juga dikenal sebagai khalifah tanpa istana.

Perbedaan itu juga menjelaskan kenapa Usman bin Affan, sahabat Nabi dari keluarga Umayyah yang sangat gemar bersedekah dan sangat gigih menyokong perjuangan Nabi dengan harta, memiliki sebuah villa di Taif untuknya beristirahat sewaktu-waktu. Usman bin Affan hidup sederhana, tapi watak aristokrat tidak bisa hilang sepenuhnya. Aristokrat lain dari keluarga Umayyah tidak usah ditanya: Abu Sufyan berjalan mengelilingi Makkah dengan jubah lebar yang harus diangkat oleh empat orang budak, dengan diiringi dua payung yang diangkat dua budak lain. Ia dan kawan-kawan pebisnisnya membawa secuil kemewahan dunia internasional ke kampung udik bernama Makkah. Mereka sangat mencolok.

Proklamasi Muhammad sebagai nabi adalah pertarungan pertama kesederhanaan dan kemewahan. Keluarga Hasyim yang rata-rata memihak dakwah pertama Nabi telah disingkirkan dari kekuasaan mereka dan diboikot sehingga harus melarikan diri ke Madinah. Makkah dikuasai aristokrat dan menjadi lahan bagi benih ide kemewahan, sedangkan Madinah dipimpin oleh Nabi dan menjadi lahan bagi benih ide kesederhanaan. Setelah Nabi wafat, kualitas kesederhanaan memenuhi langit-langit Madinah dan Makkah sampai pada kepemimpinan dua khalifah pertama. Di masa kekhalifahan Usman bin Affan, keluarga Umayyah yang telah lama tersisih dari ‘lahan basah’ Makkah merubung dan menggunakan nama Usman bin Affan untuk mewujudkan ide kemewahan.

Untuk pertama kalinya, khalifah tinggal di dalam istana. Gubernur Suriah, Mu’awiyah, anak dari Abu Sufyan, membangun istana yang lebih megah dari istana khalifah di Madinah. Sebagai khalifah baru, Ali sempat tinggal di sebuah rumah sederhana karena menolak tinggal di istana. Ia pria matang yang mengerti tipu daya harta—mengingat Usman terbunuh tragis di istananya sendiri. Tapi setelah Ali sendiri pun terbunuh di perjalanan menuju masjid, ide kemewahan menang dan dipertontonkan dengan sangat gemerlap oleh Mu’awiyah, sultan pertama Dinasti Umayyah, dan keturunannya, kecuali, mungkin, oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Apakah kesederhanaan lebih diutamakan? Apakah kemewahan semenjijikkan itu?

Jundab bin Junadah, dikenal sebagai Abu Dzar al-Ghifari, rutin berkeliling di ruang-ruang publik Suriah untuk memperingatkan muslimin baru yang ultra kaya, yang pakaian, rumah, dan perbelanjaannya begitu mewah. Abu Dzar melihat sendiri bagaimana Nabi hidup dalam kesederhanaan absolut, dan ia pun menerapkannya dengan ketat. Di mata Abu Dzar, identitas muslim di kota metropolis di Suriah yang serba berkemewahan itu begitu jauh dari apa yang Nabi contohkan.

Aktivitas Abu Dzar mendakwahkan kesederhanaan membuat gerah masyarakat Suriah sehingga Mu’awiyah, gubernur Suriah yang juga bagian dari golongan ultra kaya, mengirimnya kembali ke Madinah. Di Madinah, Abu Dzar juga berang melihat gaya hidup istana khalifah dan meluncurkan peringatan-peringatan yang sama, sampai akhirnya khalifah Usman bin Affan memutuskan untuk membuang dan mengasingkan Abu Dzar di padang pasir sampai mati.

Apakah kesederhanaan ala Abu Dzar al-Ghifari itu benar dan kemewahan ala Gubernur Suriah itu salah?

Dari satu sudut pandang, dapat dipahami bahwa niat Mu’awiyah tidak sepenuhnya keliru. Mu’awiyah mengerti satu hal: Islam tidak akan dipandang dunia internasional bila “wajah”-nya tidak menyiratkan keagungan dan kewibawaan (“wajah” itu antar lain infrastruktur, tata ruang, industri yang memproduksi barang dan jasa, serta konsumsi warga, yang menyiratkan kemewahan). Itulah logika yang dimengerti Mu’awiyah, yang melampaui imajinasi masyarakat terpencil di padang pasir. Citra kesederhanaan yang mengagumkan, yang pernah ditunjukkan oleh Umar bin Khattab, selain tidak sesuai dengan karakter flamboyan keluarga Umayyah, juga tidak akan mampu menjadikan Islam sebagai pusat peradaban.

Kemewahan dapat melahirkan peradaban karena pertumbuhan ekonomi, nuansa metropolitan, dan perhatian para sultan yang cukup tinggi pada hubungan ilmu pengetahuan dan peradaban memicu gairah intelektual yang menjadi sumbu penemuan sains dan teknologi yang mengejutkan dunia. Kemajuan-kemajuan semacam itu agak sulit dicapai bila, umpama, para khalifah dan sultan setia dengan cara hidup sederhana ala suku-suku nomaden. Peradaban tidak akan bergerak maju bila masyarakat hanya dan hanya berkutat dengan syair-syair kuno yang dibacakan di depan api unggun, sambil menjaga gemblaan kambing, di bawah bintang-bintang.

Namun, semua itu hanyalah cerminan dari logika yang dipahami dan dipilih oleh Mu’awiyah. Padahal, kekuasaan dinasti-dinasti pasca khalifah sesungguhnya hanya terusan dari kesuksesan politik yang dirintis oleh Umar bin Khatab. Umar bin Khattab meraih kesuksesan politik tidak dengan mengikuti logika kemewahan Mu’awiyah. Politik Umar bin Khattab disangga dengan kejujuran dan kesederhanaan. Pendekatan ini lebih menjamin keadilan sosial bagi rakyat dan lebih memberi rasa keberanian bagi Umar dalam menghadapi kejahatan politik dan ekonomi.

Tanpa perlu berkemewahan, seorang sultan masih sanggup menghantam mati mental kawan dan lawan politiknya. Seorang sultan bisa mengonsentrasikan kapital untuk fasilitas umum, dana abadi kebudayaan, dan kepentingan bela negara, tapi bukan untuk protokol pribadi yang berkemewahan. Pakaian lusuh seorang pemimpin imperium juga merupakan fashion statement dengan pesan yang kuat, bahwa rezim yang berkemewahan justru lebih dekat dengan kemunafikan, pengkhianatan, dan korupsi besar-besaran. []

4 tanggapan untuk “Kesederhanaan dan Kemewahan Dalam Sejarah Islam”

  1. […] November 2023 Kesederhanaan dan Kemewahan Dalam Sejarah Islam Photo by Taryn Elliott on […]

  2. Tulisan bang ical makin kesini makin keras dan pedas. Hihihi..
    Sudah jauh berbeda dari awal-awal kenal di wordpress dulu.

  3. […] November 2023 Kesederhanaan dan Kemewahan Dalam Sejarah Islam Photo by sum+it on […]

  4. Suka banget baca topik seperti ini, apalagi dikemas dengan tulisan yg epik. Perbanyak topik tentang zaman nabi dan khalifah lainnya Bang Ical ^_^

Tinggalkan komentar