MUI dan Golput

Pada tahun 2009, Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan fatwa bahwa di alam demokrasi, golput adalah haram. Belakangan, fatwa itu diviralkan lagi. Walau begitu, saya tetap akan setia untuk tidak memilih dan mempercayai siapa-siapa di alam politik ini. Sikap ini telah saya pegang sejak memiliki Kartu Tanda Penduduk dan boleh menggunakan hak pilih dalam pemilu. Saya tidak pernah datang ke Tempat Pemungutan Suara, kecuali sekali, dulu, waktu pemilihan walikota. Itu pun karena kasihan pada Pak RT yang susah payah menyeret.

Untuk menolak ikut fatwa MUI dan tetap menjadi golput, tentu saja saya punya alasan. 

Pertama, fatwa MUI memang tidak wajib diikuti. Dalam tradisi hukum Islam, fatwa dikeluarkan oleh seorang mufti karena adanya mustafti (peminta fatwa). Hari ini, fatwa tidak lagi dikeluarkan oleh individu, melainkan oleh lembaga resmi negara. Setiap negara muslim biasanya punya lembaga fatwa yang berfatwa untuk merespon isu-isu sosial keagamaan. Di Indonesia, lembaga fatwa punya dua wajah: satu wajah umat yang merespon isu-isu sosial-keagamaan, lainnya wajah negara yang berfatwa karena ada permintaan dari negara. MUI tidak murni lembaga keagamaan. Mereka juga merupakan agen politik. Karena itu, saya tidak harus mengikuti fatwa MUI. Kelaminnya tidak jelas.

Kedua, memilih pemimpin adalah perkara fardu kifayah. Kewajiban individu dapat gugur bila ada individu lain yang telah melaksanakannya (seperti salat jenazah). Memang ada hadis-hadis tentang kewajiban memilih imam (pemimpin), tapi apakah kewajiban itu termasuk fardu ain (harus dilakukan semua orang)? Saya rasa, tidak. Saat meninggalnya, jasad Rasulullah tidak dikuburkan sampai sebagian elit Madinah selesai bermusyawarah menentukan khalifah berikutnya. Artinya, memilih pemimpin dapat diwakilkan. Kalaupun setelah musyawarah itu warga Madinah didatangi satu per satu untuk berbaiat, itu lebih lucu lagi karena mungkin saja mereka terpaksa harus berbaiat pada orang yang tidak disepakatinya. 

Hadir tidaknya saya di TPS takkan mengurangi makan pemilu. Hasilnya pasti begitu-begitu saja. Lagipula, negara tidak melarang golput. Undang-undang Pemilu hanya mengancam menjatuhkan sanksi pada pihak yang menjanjikan atau memberi uang atau materi pada calon pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya, merusak kertas suara sehingga tidak sah, atau memilih calon/partai tertentu. Sebagai individu, saya tetap berhak tidak menggunakan hak pilih (sebab untuk menggunakan hak pilih pun saya juga cuma berhak, tidak wajib), berhak pula adu pikiran atau berkampanye tentang peran golput dalam gerakan people power. Lembaga fatwa, kok, repot?

Ketiga, apabila dalam konsideran fatwa tersebut MUI berdalih bahwa menggunakan hak pilih merupakan upaya menyelamatkan bangsa dari terpilihnya pemimpin korup (yang artinya, golput dapat menghancurkan bangsa), satu pertanyaan bisa diajukan: bagaimana bila semua pilhan yang tersedia sudah korup sejak mula? Kebatilan adalah ciri khas politik Indonesia. Ini soal sistem dan budaya politik yang telah mendarah daging: uang, balas budi, dan kesepakatan belakang layar. Orang-orang yang mencalonkan diri itu terikat dengan sistem dan budaya politik tersebut. Mereka mungkin adalah calon yang baru, tapi bermain dengan logika lama. Haqqul yaqin, hasilnya akan sama saja!

Diktum “setidaknya pilih yang paling sedikit buruknya” itu basa-basi paling buruk di dunia. Mereka yang mengulang-ulang diktum itu tidak paham definisi “buruk” dalam politik. Ini bukan soal integritas individu si calon, melainkan rekam jejak, ideologi, dan aliansi politiknya saat ini. Rakyat kita tidak punya daya literasi (dan kritisisme) untuk bisa menelusuri rekam jejak, menganalisis ideologi politik, dan membongkar kepentingan-kepentingan aliansi politik seorang calon. Apalagi untuk memperkirakan ke mana biduk catur pergi: setelah berkuasa, orang yang tampak baik selama pencalonan itu akankah berbalik wajah dan malah menginjak-injak, atau tidak; rakyat kita terlalu Intel Celeron untuk melakukan kerja-kerja AMD Ryzen 7 seperti itu.

Lagipula, MUI lucu sekali mempertaruhkan nasib bangsa pada proses pemilu. Dengan fatwanya, MUI justru menyederhanakan peran politik warga yang krusial, yaitu sebagai mata yang mengawasi dan mulut yang cerewet mengingatkan. Justru, kewajiban politik warga bukanlah di TPS selama satu kali dalam lima tahun, melainkan sepanjang lima tahun penuh untuk merespon kebijakan-kebijakan anti-rakyat! Warga juga lucu bila fanatik menyambut pemilu tapi kicep selama lima tahun di depan isu-isu kerakyatan. Kok, enak banget.

Kewajiban politik yang lebih esensial ini tidak ada hubungannya dengan apakah dulunya rakyat itu golput atau tidak. Kewajiban warga hanyalah membayar pajak dan taat hukum. Jika hukum membolehkan warga untuk tidak menggunakan hak pilih, dan warga (yang wajib pajak) sudah memembayar pajak, warga berhak seluas-luasnya menuntut dipenuhinya hak-hak sipil oleh negara, atau menuntut tidak dihancurkannya hak-hak sipil itu demi kepentingan elit ekonomi dan politik. Negara tidak berhak melarang protes dengan dalih protester itu dulunya golput atau tidak berkontribusi dalam politik—seolah-olah politik itu cuma sekali dalam lima tahun! Hal yang lebih esensial membatalkan hak protes warga justru lalai membayar pajak. 

Terakhir, saya mengerti hak untuk memilih adalah hak yang sangat mendasar (the right to vote is a fundamental right). Ada masa dalam sejarah ketika rakyat tidak punya kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak untuk memilih dalam alam demokrasi diperjuangkan sangat lama dan berdarah-darah. Tapi, dalam perkembangannya, kita juga harus jujur bahwa hak pilih kita telah memberi kekuasaan pada orang-orang yang korup itu. Bila vote kita memenangkan paslon 1, kita akan melihatnya korupsi dengan caranya sendiri. Pun demikian paslon 2 dan 3. Jadi, tetap memilih karena bodoh dalam politik, itu sah. Memilih golput karena sadar (bahwa orang baik dalam politik dewasa ini hanyalah khayalan), itu juga sah. Minimal, jangan saling ganggu. []

3 tanggapan untuk “MUI dan Golput”

  1. Politik artinya memberikan diri kesempatan untuk menderita

  2. Makasih yaa…. Aku jadi tercerahkan….

  3. Kalau saya sih simpel.. saya memegang pendapat bahwa demokrasi bukan dari Islam. Jadi tidak ada kewajiban dan keharusan untuk turut berdemokrasi walau sekedar nyoblos

Tinggalkan komentar