Kamu Mencari yang Tidak Ada

Oleh: AS Rosyid

Tidak ada tips menulis. Tidak ada jalan pintas. Kamu bisa mengikuti seribu workshop, tapi semua itu takkan membuatmu menjadi penulis. Kamu bisa menyerap begitu banyak pengetahuan teknis tentang sintaksis, semantik, morfologi, dan sebagainya, tapi, toh, akhirnya, tulisan dibangun berdasarkan bakat (sense) menghadirkan babak demi babak cerita atau wacana. Setelah bilang begini, mau bilang apa? Sebelum ngomong begitu, harus ngomong apa? Pikiran saya yang heboh ini, bagaimana menuliskannya dengan hemat, lincah, dan terus terang? Semua itu berkaitan dengan bakat dan keterampilan.

Perkara bakat, memang harus diakui, tidak bisa diajarkan. Sebab, bakat menulis adalah akumulasi dari usaha panjang berlatih menulis sehingga terbentuklah semacam insting dan rasa peka dalam bercerita atau berwacana. Selain itu, bakat juga terbentuk dari pengalaman hidup kita. Catatan kecil ini akan membagikan lima riwayat pengalaman saya sejak kecil, yang telah membentuk gaya tulisan saya hari ini, yaitu: (a) rasa berang pada otoritas, (b) rasa benci pada kekerasan, (c) rasa suka pada fiksi, (d) rasa cinta pada musik, dan (e) rasa takut ditinggalkan.

Rasa Berang Pada Otoritas

Saya selalu bermasalah dengan otoritas yang berwujud kekuasaan otoriter. Saya cenderung menentang. Di rumah, otoritas yang saya tentang adalah orangtua saya. Saya selalu membantah Mamak yang masukan-masukannya seringkali masuk akal. Kepada Bapak, karena takut dipukul, saya menurut, tapi sambil memaki dalam hati. Saya pernah suka pada seorang perempuan. Sayang, karena karirnya prospektif, dari kepala Mamak keluarlah tanduk. Saya tidak suka itu, dan hubungan saya akhiri. Peduli amat Mamak marah dan sedih karena itu.

Di sekolah dasar dulu, otoritas-otoriter itu muncul dari anak seorang guru. Ia sangat bossy. Di usia sebocah itu ia sudah sadar punya privilege dan mampu mengkapitalkan pengaruh sosial untuk kepentingan dirinya. Dia “merekrut” teman-teman untuk berada di sisinya, dan untuk mengucilkan saya, karena saya anak pindahan. Saya selalu jadi bulan-bulanan di kelas. Dari pengalaman-pengalaman itu saya punya kepekaan terhadap suasana otoriter, terhadap bahasa, gestur, dan permainan licik yang hanya akan menguntungkan satu pihak saja. 

Tulisan-tulisan saya cenderung mengkritik otoritas-otoriter serta kontradiksi-kontradiksi lucu yang muncul dari kemunafikannya. Skripsi saya mengkritik otoritas tunggal narasi agama. Tesis saya mengkritik otoritas sapiens yang menganggap diri berhak atas bumi sepenuhnya; sapiens yang angkuh dan besar kepala.

Rasa Marah Pada Kekerasan

Di masa lalu, saya adalah korban kekerasan. Entah kenapa, saya punya semacam aura yang menarik orang untuk berbuat jahat. Anak-anak nakal di kelas selalu mengincar saya. Waktu TK, saya didorong ke mainan mangkok yang sedang berputar cepat; dada saya berhantaman dengan kerangka besi mainan mangkok itu dan saya terpelanting jauh. Celana saya dipeloroti. Saya didorong dari atas bukit teletubies hingga nadi saya sobek. Semasa SD, jangan ditanya. 

Di awal-awal mondok, saya masih dipersekusi. Baru setelah saya belajar kungfu (waktu kelas III Mts), tidak ada yang berani menyentuh saya. Hanya saja, saya sempat berbalik dari terganggu menjadi pengganggu. Sebelum diganggu, lebih baik saya mengganggu. Saya menggunakan kekerasan untuk membentengi diri saya dari kekerasan. Memang ini efektif, karena saya bisa langsung menunjuk hidung orang lain tanpa orang itu berani membalas, dan kekerasan dihentikan dengan reputasi saya yang menakutkan, tapi itu artinya saya tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan. Akhirnya, saya berhenti.

Kekerasan selalu identik dengan (dan berawal dari) pemaksaan. Lebih dari itu, usaha pemaksaan timbul karena rasa otoritas, yakni anggapan diri lebih kuat, lebih populer, lebih pandai, atau lebih mulia. Ditolak itu memalukan, jadi paksa saja orang menerima; kalau tidak mempan, lakukan kekerasan. Pola inilah (yakni rasa otoritas, pemaksaan, dan kekerasan) yang saya benci. Pengaruhnya, saya jadi menyukai tulisan yang terus terang, tidak basa-basi, dan kritis menelanjangi argumen manipulatif. Tulisan-tulisan saya pun akhirnya menunjukkan aura yang sama.

Rasa Suka Pada Cerita

Saya dibesarkan dengan buku cerita dan komik. Bapak saya seorang guru yang karirnya sebagai kepala sekolah cukup moncer. Pada masa jayanya, bapak sering membawa saya ke sekolah dan menitipkan saya di perpustakaan. Novel-novel yang terbit di era Orde Baru saya baca di sana (bapak juga “menyeludupkan” novel-novel itu ke rumah). Kelas 2 SD, saya sudah mulai mengoleksi komik Detective Conan, Kungfu Boy, dan Dragon Ball. Kelas 1 MTs, minat baca saya berubah. Saya mulai membaca Dunia Sophie, juga majalah-majalah politik agama yang banyak beredar di pondok (Muslim Digest, misalnya).

Rasa suka pada cerita dan pergaulan dengan buku cerita sejak kecil; keduanya membentuk kepekaan dan keterampilan saya menggulirkan informasi dalam tulisan. Ada banyak teori tentang bagaimana menggulirkan informasi, misalnya dari induksi atau deduksi. Hanya saja, kalau template ini diterapkan oleh semua orang, gaya tulisan semua orang akan terlihat sama dan itu tidak seru. Gaya menulis yang lahir karena kepekaan hasil pengalaman panjang membaca buku jauh akan terasa keotentikannya. Tapi itu soal keotentikan; soal keterampilan, lain lagi, diperolehnya melalui latihan panjang. Artinya, bakat saja tidak cukup. Menulis juga butuh terampil.

Membaca cerita memungkinkan saya memahami aliran argumen yang baik. Untuk melawan otoritas, sekaligus untuk memenangkan hati pembaca, saya butuh kecakapan berdebat yang menyita perhatian. Kuda-kuda argumen saya harus kukuh dan tidak memungkinkan untuk didebat balik. Semua itu berkaitan dengan kepekaan pada babak-babak cerita atau wacana.

Rasa Cinta Pada Musik

Musik mengaktifkan otak manusia untuk memproduksi imajinasi. Dua orang yang mendengarkan lagu Overjoyed-nya Stevie Wonder untuk pertama kalinya akan memiliki kesan, warna, dan bayangan filmis yang berbeda-beda di kepalanya. Orang yang dipengaruhi lagu-lagu Slank mungkin akan condong pada ideologi yang berbeda dari ideologi yang direpresentasikan lagu-lagu Dewa 19. Itu sudah jelas. Namun, lebih dari itu, musik juga berpengaruh pada kepekaan terhadap kata dan iramanya, atau pada diksi dan aspek puitiknya.

Kepekaan pada diksi, iramanya dan aspek puitik penting dimiliki oleh penulis, bahkan penulis makalah ilmiah sekaligus. Di masa keemasan Islam, buku-buku fikih, teologi dan filsafat ditulis dengan memperhatikan kaidah argumentasi ilmiah, tapi juga sekaligus indah secara sastra. Bunyi sastrawi itu terdengar dalam judul tulisan-tulisan mereka, seperti Sulālatus Salāṭīn (kitab sejarah politik Melayu), Bulūghul Marām (kitab hadis), atau ‘Aunul Ma’būd (kitab morfologi).

Secara ideologi, musik juga mempengaruhi saya karena kesukaan saya pada musik-musik “kelas dua”: yang populariasnya bukan nomer satu tapi sesungguhnya punya musikalitas lebih kuat. Baladewa memang kalah jumlah dari Slankers, tapi musik dua band itu tidak bisa dibandingkan. Dampaknya, saya cenderng mencari referensi yang tidak populer untuk esai saya. Saya selalu ingin ada yang baru dan segar dalam informasi dan analisis, tidak mengulang narasi penulis lain.

Rasa Takut Ditinggalkan

Terakhir, saya juga takut ditinggalkan orang-orang yang saya sayangi. Karena itu, meski harus menghunus pembaca dengan kritik tajam, saya berusaha agar yang terhunus itu bukan pedang, melainkan pisau yang membedah tubuh pasien setelah anastesi. Pembaca harus terhantam sampai terjungkal, tapi mereka tidak boleh merasa sakit. Itu teknik yang aneh, tapi seringkali saya temukan pembaca tulisan saya merasa demikian.

Saat diminta menjelaskan bagaimana caranya, saya tidak tahu. Saya menulis dengan dikendalikan trauma tulisan saya menyebabkan masalah di kemudian hari, karena itu saya berhati-hati. Mungkin juga saya dipengaruhi oleh esai-esai Kuntowijoyo. Beliau pemikir brilian, sangat marxis dalam analisis sosial-budaya, sangat tajam dalam mengkritik, tapi juga sangat santun! Kuntowijoyo nyaris tidak punya musuh. Intelektual, aktivis, sastrawan, seniman, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan, tidak punya alasan untuk memusuhinya. Saya suka Kuntowijoyo dan mencoba meneladaninya, meski mungkin tak mungkin. Dia, ya, dia. Saya, ya, saya. []

3 tanggapan untuk “Kamu Mencari yang Tidak Ada”

  1. Hai Bang Ical apa kabar? Sesungguhnya saya rindu meninggalkan jejak di sini. Hehehe

    Oleh karenanya saya mampir dan membaca tulisanmu yang makin apik saja. Makin matang.

    1. KAAAAK MOMOOOOOOO! 🙂 Membaca komen ini, untuk sesaat saja, saya merasa kangen sekali dengan era ketika blogwalking masih istimewa, ketika kita masih punya banyak waktu dan energi untuk melakukannya. Old days, huh.

      1. Iya. Itu sudah sekitar 7-8 tahun lalu.
        Saya udah tua sekarang. Kehujanan dikit bisa masuk angin 😂

        Terima kasih juga untuk tetap menulis.
        Saya masih baca tulisan-tulisan yang lain, berasa ketinggalan aja. ☺

Tinggalkan komentar