Seni itu urusanmu dengan dirimu sendiri.
Ada yang melihat seni sebagai apa-apa yang indah di dunia ini, dan bagaimana manusia membuat ulang keindahan tersebut. Ada yang melihat seni sebagai cara menyuarakan kegelisahan dan kritik lewat perlambang-perlambang berbentuk barang yang bernilai kesenian. Ada juga yang melihat seni sebagai kedisiplinan dalam melakoni proses-proses yang disyaratkan suatu aliran kesenian.
Mungkin, tiap-tiap seniman punya definisi kesenian sendiri berdasarkan pengalaman berkeseniannya, tapi yang jelas seni adalah urusan seniman dengan dirinya sendiri. Kalau kamu hidup dengan (bukan cuma dari) berkesenian, itu artinya kamu harus menaklukkan rasa malasmu, menghindar dari rasa cepat puas, menolak merasa takut dan rendah diri, memilih berani menjawab kritik, meloloskan diri dari perasaan tidak berguna, dan terus mencoba bertahan untuk tetap berkesenian sebisa-bisanya.
Kamu yang beruntung memiliki guru atau mentor, harus berurusan dengan rasa sabar dengan penempaan. Kamu yang beruntung terbebas dari ikatan bernama guru-murid, tapi punya ekosistem yang memungkinkan untuk belajar secara tidak langsung, tinggal berurusan dengan ketekunan. Sama halnya dengan kamu yang beruntung tidak punya keduanya sehingga lebih merdeka mengeksplorasi bentuk-bentuk baru kesenian.
Apapun kondisinya, orang yang berkesenian harus berurusan dengan dirinya sendiri. Pada akhirnya, seni bukan saja tentang penciptaan, tapi tentang menjadi apakah penciptanya itu bakda penciptaan. Berkesenian untuk “menjadi” (becoming) diperoleh dari aspek “mencipta” (creating) dalam kegiatan kesenian, serta dari semua pengalaman dalam menjalani dan menyelesaikan berbagai rintangan mental. []
Tinggalkan komentar